Rabu, 27 Agustus 2014

ngampo

[Foto saisuak] Petani Gambir sedang “Mangampo” (1910 – 1919)
Posted on 18 Juli 2014 by Abdul Hamdi Mustapa

Petani gambir zaman Belanda (1910 - 1919)
Petani gambir di zaman Belanda (1910 – 1919)
Foto diatas bersumber dari koleksi Tropenmuseum Amsterdam Belanda, berjudul “De fabricage van gambir in de Padangsche Bovenlanden” (Terjemahan: “Pembuatan gambir di Padang wilayah atas”). Dibuat sekitaran tahun 1910 – 1919.
Menurut ulasan salah satu blog, foto tersebut adalah para petani gambir yang berada di sebuah lereng perbukitan sekitar Harau atau Pangkalan.
Berikut ini saya kutipkan posting blog yang menceritakan mengenai foto tersebut,

GAMBIR, REVOLUSI TAK BERUJUNG (PANGKAL)
(http://parintangrintang.wordpress.com/2014/04/28/gambir-revolusi-tak-berujung-pangkal)
Hari itu, disekitar tahun 1910-an, menjelang tengah hari, matahari terlihat begitu sumringah memancarkan cahanya. Bayangan kecil masih condong ke arah barat. Di sebuah lereng perbukitan, di sekitar Harau atau Pangkalan, sebuah pondok pengempaan gambir tampak cukup ramai. Tidak seperti biasanya, dimana orang-orang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Kali ini semua orang berkumpul di depan pintu masuk pondok pengempaan. Tidak hanya para pekerja, peralatan dan gambir yang sudah keringpun tampak ditaruh di luar.
Rumah Kempa Gambir satu abad yang lalu
Rumah Kempa Gambir satu abad yang lalu
Hari itu adalah hari istimewa. Seorang pribumi terpandang yang menjadi orang kepercayaan kolonial Belanda datang mengunjungi pondok pengempaan tersebut. Tujuannya adalah untuk melakukan inspeksi tentang kualitas dan mutu gambir yang dihasilkan. Para pekerja itu adalah para petani (tepatnya pekerja) yang mengolah tanaman gambir atau uncharia gambier robx menjadi gambir lumpang. Gambir lumpang biasanya dikonsumsi sebagai pelengkap makan sirih; kalau tidak, akan dikirim ke Emmahaven (teluk bayur). Melalui pelabuhan Emmahaven tersebut gambir yang menjadi komoditi penting dari Afdeeling Lima Puluh Kota selanjutnya dikapalkan ke seberang lautan; entah ke India yang menjadi jajahan Inggris atau ke Batavia yang selanjutnya disebarkan ke seluruh wilayah di Pulau Jawa.
Tidak seperti biasanya, kedatangan pria perlente tersebut didampingi oleh seorang fotografer berkebangsaan Belanda. Oleh karenanya, kepada para pekerja pondok pengempaan gambir tersebut diminta untuk mempersiapkan segala hal yang dapat menggambarkan tentang peralatan dan proses sederhana pengolahan gambir menjadi gambir lumpang (demikian dikenal oleh masyarakat). Proses pemotretan pun dimulai. Mungkin ada beberapa gambar yang diambil, namun gambar di atas yang merupakan koleksi Tropen Museum Belanda yang berjudul De Fabricage van Gambir dapat menggambarkan secara tepat tentang pengolahan gambir di Afdeeling Lima Puluh Kota.
Dalam gambar, yang bagi sebagian orang mungkin tidak menarik ini, pria separuh baya tersebut terlihat begitu gagah memakai baju safari berkancing lima berukuran besar. Baju safari tersebut memiliki empat kantong yang kesemuanya telihat berisi (penuh). Ditangan kirinya menggantung sebuah jas bewarna gelap layaknya pakaian kaum terpelajar berpendidikan Eropa. Dia terlihat semakin gagah dengan topi lebar yang bagian kirinya sedikit ditekuk ke atas. Walaupun memakai topi lebar dengan kumis melintang, pria tersebut tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan empat orang pekerja yang ada di sana.
Empat orang pekerja tersebut berpakaian sederhana dengan celana dan baju gombrong yang tidak dikancingkan. Kepala mereka tidak ditutupi topi, tetapi dengan balutan kain yang menyerupai sorban atau destar. Di sebelah kanan pria perlente tersebut berdiri seorang pria yang sepertinya baru saja kembali dari ladang gambir karena masih memikul (menjunjung?) ambuang. Ambuang adalah sejenis keranjang rotan atau bambu dengan tinggi kira-kira 1,2 meter berbentuk kerucut yang dipotong ujungnya. Ambuang merupakan tempat untuk mengumpulkan ranting-ranting gambir yang sudah dipotong sekaligus untuk mengangkatnya menuju ke pondok pengempaan. Pemakaian ambuang akan memudahkan pekerja karena daun dan ranting yang diambil biasya memiliki ketinggian 1,2-1,5 meter. Anyaman bambu atau rotan yang tidak terlalu rapat merupakan pembeda antara ambuang dengan katidiang maupun keranjang biasa. Oleh karenanya pekerja akan memegang lobang yang ada pada dinding ambuang dengan mengikatkan kain pada bagian bawah sambil digantungkan pada kening pekerja. Hal ini dilakukan karena medan yang dihadapi adalah perbukitan dengan kelerangan antara 40 s/d 60 derajat. Dengan alat seperti ini akan sangat memudahkan untuk membawa ranting gambir ke pondok pengempaan.
Dihadapan pria yang sedang memikul ambuang berdiri pria dengan memegang sebuah martil berukuran besar. Martil itu merupakan alat bantu dalam proses ekstraksi getah gambir. Palu digunakan untuk memukul baji. Baji adalah bilah kayu yang dijadikan sebagai pendorong sopik ataupun kacik untuk mengepres gambir selesai direbus. Sopik atau juga kacik adalah alat press sederhana yang digunakan untuk mengeluarkan getah gambir yang selesai di rebus. Semakin dipukul baji akan menjepit gambir yang dibalut dengan tali. Pada gambar tersebut terlihat dua buah sopik yang disandarkan di dinding pondok.
Sebelum dipress sebagaimana dikemukakan di atas, gambir tersebut terlebih dahulu direbus pada tungku besar dengan kancah atau kuali (wajan) besar di atasnya. Sebelum direbus daun dan ranting gambir di padatkan pada sebuah alat yang disebut kopuak.Kopuak adalah sebuah alat berbentuk lingkaran yang bagian atas dan bawahnya terbuka, seperti drum yang tidak memiliki tutup dan alas. Biasanya kopuak terbuat dari kulit pohon tarok. Selesai dipadatkan lalu direbus sampai pada suhu tertentu yang ditandai dengan warna air rebusan yang berwarna kecoklatan. Selanjutnya dari kancah dibalut dengantali palilik untuk ditempatkan pada alat yang disebut sopik atau kocik di atas.
Hasil rebusan ditampung dan dialirkan pada sebuah lobang kedap air untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam alat yang disebut paraku. Paraku terbuat dari papan yang menyerupai bak penampungan sedernaha dengan ukuran selebar papan baik tinggi maupun lebarnya. Dalam paraku inilah terjadi proses pengendapan. Endapan getah yang mengandung katechin dan bahan lainnya akan tetinggal dalam paraku seiring dengan air yang meresap atau menguap. Setelah air mulai berkurang, getah yang masih basah tersebut lalu di ditumpuk pada suatu tempat dengan diberi tekanan kecil diatasnya agar kadar airnya berkurang. Bila kadar air sudah berkurang maka gambir siap dicetak.
Alat yang digunakan untuk mencetak lumpang tersebut disebut cupak. Cupak terbuat dari seruas bambu kecil yang dipotong kedua ujungnya. Pada satu bagian disiapkan alat penekan agar dapat mengeluarkan gambir dari cupak tersebut. Dengan demikian bentuk dan ukuran gambir yang dihasilkan akan sama ukurannya.
Setiap gambir yang selesai dicetak dengan cupak akan diletakkan di atas samia. Samia adalah anyaman bambu berukuran satu kali dua meter tempat meletakkan gambir yang telah dicetak sekaligus tempat menjemurnya. Dihadapan pria perlente dengan senyum tipis tersebut terlihat seorang pria yang sedang mencetak gambir dalam bentuk lumpang dan meletakkannya di atas sebuah samia.
Setelah gambir tersusun di atas samia maka gambir tersebut lalu dikeringkan dengan menggunakan panas matahari selama beberapa hari. Biasanya dibutuhkan waktu dua sampai tiga hari untuk mengeringkan gambir sehingga bisa disimpan di katidiang untuk selanjutnya di bawa pulang dan dijual ke pasar.
Secara umum proses panen daun gambir sampai siap untuk dibawa pulang adalah selama lima sampai enam hari. Pekerja pengolah gambir yang biasanya berjumlah tiga sampai empat orang ini berangkat menuju ladang gambir sehari setelah hari pasar di nagari tempat mereka tinggal. Pada hari itu semua perlengkapan dibawa seperti beras, lauk pauk, minyak, sampai dengan rokok atau daun dan tembakau. Setelah lima hari bekerja, mereka lalu pulang ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri membawa gambir hasil panenan mereka ke pasar. Gambir lalu dijual kepada pedagang pengumpul dengan satuan penjualan pikols. Hasilnya lalu dibagi dua antara pemilik lahan dengan para pekerja tersebut. Pemilik lahan biasanya adalah orang terpandang di suatu nagari. Mereka inilah yang membiayai pengolahan kebun gambir sehingga siap panen serta biaya para pekerja untuk pergi ke pondok pengempaan selama lima hari. Hasil setengahnya lagi dibagi rata antara pekerja yang ikut.
Demkianlah, pengolahan gambir yang terjadi di daerah yang kini menjadi wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Proses dan mekanisme ini sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Gambar yang diambil satu abad yang lalu tersebut menjadi bukti bahwa gambir memang sudah lama diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota terutama yang berada di daerah (kini) Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Harau, Kecamatan Bukik Barisan, dan Kecamatan Lareh Sago Halaban.
Sebuah data statistik yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1865 s/d 1869 memperlihatkan jumlah gambir yang dibawa keluar Sumatera Barat (Sumatra’s Weskust) dalam jumlah yang cukup besar. Pada tahun 1865 misalnya, gambir yang dikirim adalah sebanyak 8978 pikols. Dengan asumsi 1 pikols sama dengan 50 kilogram maka tahun tersebut dikapalkan sebanyak hampir 450 ton gambir dengan berbagai tujuan. Tabel di bawah ini dapat menggambarkan fluktuasi pengiriman gambir melalui pelabuhan Emmahaven (teluk bayur). Data ini sepertinya belum memasukkan lalu lintas gambir melalui wilayah timur yang berpusat di Nagari Pangkalan sekarang ini. Data komditi lainnya dapat dilihat pada tabel di bawah,
Perkembangan komoditi yang dihasilkan di Sumatra's Weskust dikirimkan melalaui pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven)
Kini, tahun 2014, setelah lebih kurang satu abad gambar tersebut diambil, ketika para pekerja dan pria perlente tersebut telah lama dipanggil oleh yang maha kuasa, belum terjadi perubahan yang berarti. Lihatlah gambar pengolahan gambir di bawah ini.
Daun gambir yang telah dimampatkan utk selanjutnya di rebus
Serangkaian gambar di bawah merupakan kondisi kekinian dari proses pengolahan gambir yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota. Bila dibandingkan dengan kondisi satu abad yang lalu tidak terdapat perubahan yang berarti. Secara umum proses pengolahan masih menggunakan teknik yang sama. Mulai dari proses panen daun/ranting gambir hingga penjemuran bahkan penjualannya ke pasar. Singkat kata (industri) pengolahan gambir dalam seratus tahun terakhir tidak tersentuh perubahan atau revolusi.
Daun yang selisai direbus diletakkan pada alat pengempaan yang menggunakan dongkrak
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, gambir memang sangat menarik untuk dibicarakan. Bukan hanya karena ekspose media masa tentang nasib petani gambir yang semakin tajam, akan tetapi juga ketertarikan para peneliti, birokrat dan dunia industri tentang manfaat gambir ini.
Proses pengempaan dengan menggunakan dongkrak
Ketertarikan media masa pada komoditi gambir adalah pada saat harga gambir jatuh tajam akibat berkurangnya permintaan luar negeri (ekspor). Pengurangan permintaan tersebut dapat diakibatkan dari (1) lahirnya kebijakan baru pada negara-negara pengkonsumsi gambir sebagai bagian dari sebuah produk akhir entah itu berupa Pan Masala dan Gutkha di kawasan Asia Selatan, atau (2) sebagai dampak dari meningkatnya supply bahan substitusi kathecu yang berasal dari tanaman lain seperti pinang dan lain sebagainya, termasuk juga (3)ketika terjadi penguatan nilai tukar rupiah terhadap US dollar.
Cairan hasil pengempaan diendapkan beberapa hari dalam paraku
Ketika kondisi itu terjadi, di media massa akan keluar judul berita kira-kira seperti ini “Harga Gambir Anjlok, Petani di Kecamatan X, Y dan Z menjerit, Pemerintah tidak berbuat apa-apa.” Berita seperti bisa begitu mengguncang ditengah masyarakat dalam waktu pendek. Terkadang bisa sampai sayup-sayup ke DPRD. Namun demikain bila kondisi sudah normal kembali, harga merangkak naik tak ada lagi media massa yang mengekspose-nya. Semua menjadi senyap kembali ketika petani dan pekerja gambir menikmati rupiah yang melimpah dari hasil panen mereka.
Getah gambir yang selesai diendapkan ditiriskan untuk mengurangi kadar air
Bila hingar bingar dengan judul berita bombastis di surat kabar seperti pasang surut air laut, maka tidak demikian halnya dengan senyapnya berita tentang apa yang dilakukan oleh lembaga riset dan peneliti dan pemerintah. Semua meyadari bahwa selagi harga gambir mampu memuaskan petani, mereka tidak akan dilirik sama sekali (kalau tidak ingin disebut dilupakan). Berbagai hal coba dilakukan. Tetapi tidak pernah berdampak langsung pada kenaikan dan stabilitas harga. Pemerintah memang tidak mungkin atau sangat sulit masuk ke pasar karena dibatasi oleh ketatnya peraturan dan perundag-undangan yang bisa saja berujung pada tuduhan tindak pidana korupsi, di samping gambir juga bukan bahan yang digunakan sebagai bahan baku dalam menghasilkan suatu produk akhir. Tidak ada end user gambir di sini, bahkan untuk pemakan sirihpun sudah sangat jarang terlihat.
Gambir yang telah diendapkan diceetak dengan menggunakan cupak dan diletakan di atas samia
Oleh karenanya, tidak tampak upaya nyata dari berbagai pihak untuk memperbaiki nasib petani dan pekerja pengolah gambir. Akibatnya peneliti, pemerintah, petani, pemerhati (media massa) sering berjalan sendiri-sendiri. Sangat sulit mendapatkan titik temu diantara bebagai pemangku kepentingan tersebut. Akibatnya jargon Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar di Indonesia hanyalah sebuah ungkapan pemanis yang hanya diketahui oleh segelintir orang di Lima Puluh Kota, karena gambir bukanlah hajat hidup orang banyak sekalipun itu di Lima Puluh Kota.
SNI1-3391-2000 tentang Mutu Gambir
Namun demikian, lembaga pemikir, peneliti, pemerintah, maupun perguruan tinggi sebenarnya tetap berupaya untuk melakukan perubahan. Pemerintah, misalnya, pada tahun 2000 telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3391-2000 : Tentang Mutu Gambir, yang dibagi atas 2 kelompok mutu yaitu Mutu I dan Mutu II (lihat gambar). Selama hampir 14 tahun SNI tersebut dikeluarkan tidak terjadi perubahan yang berarti pada gambir yang dihasilkan. Alih-alih mengikuti standar mutu gambir tersebut petani malah mengikuti selera pedagang pengumpul sebagai tangan kanan ekpsortir. Karenanya, isu tentang gambir yang dicampur dengan tanah, tanah liat sampai dengan pupuk kimia sudah menjadi rahasia umum. Semuanya tergantung kepada permintaan pasar dalam hal ini pedagang pengumpul. Sudah dapat dipastikan ditengah-tengah masyarakat (petani dan pekerja) mutu sesuai SNI sering kali menjadi olok-olok dan bahan guyonan saja.
Kembali ke proses produksi, sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, perubahan dalam metode dan teknik produksi hanya sedikit terjadi. Bila dulu untuk melakukan ekstraksi menggunakan sopik dan kocik yang dibantu dengan menggunakan baji, maka sekarang dipermudah dengan menggunakan dongkrak hidrolik. Di luar proses ekstraksi tersebut hampir tidak ada perubahan selama berabad-abad. Pun demikian dari sisi struktur produksi. Modal usaha, ongkos produksi dan bagi hasil semuanya tetap menggunakan sistem yang sudah dipakai turun temurun sejak berabad-abad yang lalu tersebut. Pendek kata dari sisi ekonomi, dari tahun ke tahun, fungsi atau struktur produksi gambir tetaplah menggunakan metode lama tersebut. Padahal, sisi ekonomi saat ini sebenarnya mengedepankan unsur efisiensi biaya produksi, kualitas, dan sifat ramah lingkungan.
Lembaga penelitian seperti LIPI, Balai Riset dan Standarisasi Industri (Baristand), peneliti perguruan tinggi, beberapa kali mencoba untuk meningkatkan nilai tambah dari gambir melalui produk akhir yang beragam. Ada banyak temuan, seperti masker, kosmetika, alat kesehatan, tinta stempel, tinta untuk pemilu, bahkan tenunan gambir pernah disampaikan pada kalangan terbatas. Sayang, temuan itu hanya dipandang sebelah mata. Penelitian hanya diingat bila terjadi penurunan drastis pada harga gambir.
Sampel Tinta Gambir pada Pemilihan Wali Nagari Panampuang 12 Januari 2014
Beberapa orang mencoba untuk tetap konsisten melakukan uji coba dan penemuan dari produk turunan gambir. Professor Amri Bachtiar dari Fakultas Farmasi Universitas Andalas, misalnya selalu menjadi pembicara penting dalam diskusi tentang produk turunan gambir. Setiap waktu beliau memperkenalkan produk hilir dari gambir. Demikian juga dengan peneliti dari Baristand Padang, yang sudah merilis tinta Pemilu berbahan dasar gambir. Walau sempat diujicobakan pada Pilwako Payakumbuh tahun 2012, namun karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diakui secara resmi. Penggunaan tinta tersebut kemudian terus dilakukan pada skala yang lebih kecil, kali ini pada pemilihan Wali Nagari Panampuang Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam tanggal 12 Januari 2014 yang lalu (lihat gambar). Masih banyak upaya dan percobaan yang dilakukan oleh lembaga tersebut, namun tampaknya nasih bersifat sporadis, karena mereka hanya lembaga penelitian.
Kotak Tinta Gambir yang digunakan dalam Pemilihan Wali Nagari Panampuang
Pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten juga telah menyusun berbagaiaction plan. Namun selalu kandas dalam implementasi. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemahaman dan pengetahuan berbagai kalangan tentang komoditi gambir tersebut. Sangat sedikit orang yang mengetahui apa itu gambir. Sebagai contoh, walaupun sebagian orang sering ke Stasiun Gambir atau Pasar Gambir di Jakarta tetapi sangat susah menjumpai orang yang mengetahui benda apa itu gambir. Pada umumnya orang menganggap gambir adalah buah yang diolah lalu dikeringkan; batangnya besar, buahnya lebat.
Pernah terbit secercah harapan untuk secara perlahan menyadarkan petani tentang mutu dari gambir yang mereka hasilkan. Melalui kelompok tani Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota telah mulai melakukan uji mutu gambir yang dihasikan oleh kelompok. Namun tidak ada yang peduli dengan hasil uji mutu tersebut. Semuanya berpendapat, mereka butuh uang. Mutu yang dihasilkan perkara belakangan.
Memang, tidak mudah merubah semuanya itu. Perlu sebuah revolusi agar gambir menjadi komoditi penting. Sayangnya, tidak ada yang tau, dari mana revolusi itu harus dimulai. Karena memang tidak diketahui dimana ujung dan dimana pangkalnya.
Wassalam

Minggu, 24 Agustus 2014

sekedar pengetahuan untuak kito


Asal Muasal Suku Menurut Tambo
Menurut pendapat yang paling umum dan bersumberkan kepada Tambo, pada awalnya di Minangkabau hanya ada empat suku saja yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Keempat suku mengelompok menjadi dua kelarasan yaitu Lareh Koto Piliang yang dipimpin Datuak Katumanggungan dan Lareh Bodi Caniago yang dipimpin oleh Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Selanjutnya suku-suku asal ini membelah berulang kali hingga mencapai jumlah ratusan suku yang ada sekarang ini. Dapat ditebak, suku yang empat ini adalah penghuni kawasan lereng Gunung Marapi atau Nagari Pariangan. Konsep ini sesuai dengan tujuan penulisan tambo yaitu untuk menyatukan pandangan orang Minang tentang asal-usulnya.
Namun informasi dari tambo ini tidak menyebutkan:
  • Darimana asal usul suku yang empat ini
  • Darimana asal usul 4 suku lain yang ada di Nagari Pariangan (Pisang, Malayu, Dalimo Panjang dan Dalimo Singkek)
  • Jika Nagari Pariangan adalah nagari pertama, mengapa tidak ada Suku Bodi dan Suku Caniago di dalamnya. Apakah suku yang berdua ini datang belakangan? Tentu ini akan menabrak konsepsi awal bahwa Bodi dan Caniago termasuk empat suku pertama.
  • Asal muasal suku besar lain seperti Jambak, Tanjuang, Sikumbang dan Mandahiliang. Karena mereka bukanlah pecahan dari Koto, Piliang, Bodi atau Caniago.
  • Suku-suku apa saja yang menjadi warga nagari-nagari yang menganut Lareh Nan Panjang.
Sebuah sumber memiliki pendapat yang berbeda dari keterangan di atas. Menurut Buku Sejarah Kebudayaan Minangkabau, suku asal Minangkabau adalah Suku Malayu, yang terpecah menjadi 4 kelompok dan masing-masingnya mengalami pemekaran, yaitu:
  • Malayu IV Paruik (Malayu, Kampai, Bendang, Salayan)
  • Malayu V Kampuang (Kutianyia, Pitopang, Jambak, Salo, Banuampu)
  • Malayu VI Niniak (Bodi, Caniago, Sumpadang, Mandailiang, Sungai Napa dan Sumagek)
  • Malayu IX Induak (Koto, Piliang, Guci, Payobada, Tanjung, Sikumbang, Simabua, Sipisang, Pagacancang)
Suku Malayu juga ditemukan sebagai suku para raja yang berkuasa di Pagaruyung, Ampek Angkek, Alam Surambi Sungai Pagu, Air Bangis dan Inderapura.
Suku Sebagai Representasi Klan Pendatang
Pada hakikatnya suku pada masa awal terbentuknya adalah representasi dari klan-klan yang membentuk masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui, Minangkabau pada masa awal pembentukan masyarakatnya adalah wilayah yang terbuka untuk didiami pelbagai bangsa sebagai konsekuensi letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan internasional. Pantai Barat Sumatera (Barus), Selat Malaka dan daerah aliran sungai-sungai besar seperti Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Batanghari adalah pintu masuk utama berbagai bangsa pendatang sejak zaman megalitikum sampai periode berkembangnya kerajaan-kerajaan di Pesisir Timur Sumatera. Kaum pendatang ini segera menghuni kawasan Luhak Nan Tigo yang dalam Tambo disebut sebagai wilayah inti Minangkabau.
Persebaran Kaum Non-Pariangan di Luhak Nan Tigo
Meskipun tambo-tambo yang beredar dalam berbagai versi itu sepakat bahwa daerah pertama yang dihuni nenek moyang orang Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di lereng sebelah selatan Gunung Marapi, namun ada informasi yang luput dari “teorema penyatuan silsilah” yaitu soal penduduk yang telah terlebih dahulu menghuni Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto.
Dalam satu episode tambo tentang pencarian tanah hunian baru, ninik yang bertiga (Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sri Maharajo Nan Banegonego) naik ke puncak Gunung Marapi untuk meninjau lokasi hunian baru yang terletak di sebelah Utara, Barat dan Timur Gunung Marapi. Menurut pandangan mereka tempat-tempat tersebut ternyata sudah dihuni orang.
Dalam cerita selanjutnya, ketiga ninik ini menyebutkan:
  • Luhak Tanah Datar : buminyo lembang, aianyo tawa, ikannyo banyak (menggambarkan masyarakatnya yang ramai, statusnya tidak merata)
  • Luhak Agam : buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia (menggambarkan masyarakatnya yang berwatak keras, masyarakatnya heterogen, persaingan hidup tajam, orangnya keras hati, suka bermusuh musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum)
  • Luhak Limopuluah Koto : buminyo sajuak, aianyo janiah, ikannyo jinak (menggambarkan masyarakatnya yang homogen dan penuh kerukunan, memiliki ketenangan dalam berpikir)
Pengamatan ini ternyata sesuai dengan Hikayat Asal Usul Suku Jambak, yang menceritakan bahwa ketika mereka masuk ke Luhak Agam yaitu ke daerah Koto Tuo Balai Gurah, mereka menemukan penduduk yang lebih dulu menghuni daerah ini. Suku Jambak berasal dari kaum pengelana (bisa juga pengungsi) yang datang dari Negeri Champa. Champa adalah sebuah negeri yang selalu menjadi target serangan tetangga tetangganya, sehingga menyebabkan emigrasi besar pada setiap serangan-serangan ini. Bahkan kata Jambak ini sangat mungkin adalah perubahan lafal dari Champa. Suku Jambak pada masa itu mengagungkan simbol Harimau Campa dan bendera merah yang kemudian menjadi simbol Luhak Agam karena dominannya pengaruh mereka.
Penduduk Koto Tuo Balai Gurah yang diusir oleh Suku Jambak ini kemudian menyebar ke daerah Kayu Tanam dan Pariaman, yang kemudian menjadi nenek moyang Suku Sikumbang. Menurut hikayat ini, Suku Sikumbang juga merupakan pendatang dari Asia Tengah dan Tiongkok yang pada saat kedatangannya terdiri dari dua gelombang. Yang satu berdiam di Luhak Tanah Datar dan sisanya menempati Luhak Agam. Sama seperti Suku Jambak, Suku Sikumbang juga memiliki simbol, yaitu Harimau Kumbang.
Pada beberapa tambo cerita ini dikaburkan dengan menafsirkan kondisi bumi yang diceritakan diatas (sejuk, panas, lembang) sebagai kondisi sebenarnya, bukan kiasan. Ada juga cerita soal tiga buah jurai (akar pohon) yang menunjuk ke tiga luhak diatas dan cerita soal tiga sumur di puncak Gunung Marapi yang menjadi tempat minum tiga kelompok nenek moyang yang akan membuka daerah Luhak Nan Tigo.
Penduduk Pariangan yang Bermigrasi ke Luhak Agam
Karena mayoritas Tambo menyatukan pandangan soal asal-usul dari Nagari Pariangan, maka yang dicatat secara resmi adalah perpindahan kaum yang berasal dari Pariangan yaitu rombongan pertama yang mendirikan Nagari Ampek Angkek. Selanjutnya adalah rombongan-rombongan yang mendirikan nagari-nagari Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Jadi seolah-olah merekalah yang mula-mula membuka nagari tersebut.
Penduduk Pariangan sendiri secara tradisional adalah cikal bakal penduduk Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), namun di tempat lain mereka belum tentu yang pertama. Inilah yang secara tidak sengaja tersirat dari episode pencarian tanah baru dalam tambo. Bukti lainnya adalah, Nagari Ampek Angkek ini menganut laras Koto Piliang, sistem yang didukung oleh mayoritas masyarakat Luhak Tanah Datar.
Yang Tersirat dari Kebesaran Luhak Nan Tigo
Luhak Nan Tigo sebagai wilayah inti Minangkabau, memiliki identitas sendiri-sendiri yang menunjukkan asal usulnya. Secara simbolik dilambangkan dengan warna merah, kuning dan hitam. Selain itu oleh simbol hewan kucing, harimau dan kambing yang konon menyimbolkan watak mereka.
Namun ada satu perihal yang lebih menegaskan lagi identitas ini yaitu kebesaran.
  • Kebesaran Luhak Tanah Data adalah Sistem Aristokrasi Koto Piliang (Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai, Langgam Nan Tujuah). Seluruh perangkat pemerintahan Koto Piliang berada di Luhak Tanah Data.
  • Kebesaran Luhak Agam adalah Sistem Pertahanan atau Parik Paga. Disini kependekaran dan kepanglimaan lebih dihargai. Terlihat dari militansi mereka dalam lintasan sejarah. Sejak dari Harimau Campa, Tuanku Nan Renceh sampai perjuangan mereka dalam peristiwa PRRI.
  • Kebesaran Luhak Limopuluah Koto adalah Sistem Demokrasi atau Musyawarah Para Penghulu. Penghulu yang duduk sehamparan, tagak sepamatang, sederajat dalam posisi.
Hal-hal diatas tampak menyiratkan asal-usul yang berbeda dari ketiganya. Kita bisa berasumsi bahwa:
  • Penduduk Luhak Tanah Data pada awalnya di dominasi oleh pendatang asal India Selatan yang beragama Hindu dan berkasta-kasta (buminya lembang).
  • Penduduk Luhak Agam seperti diterangkan di atas berasal dari tempat yang beragam (sangat heterogen) sehingga persaingan dan pertahanan adalah sesuatu yang utama dalam kehidupan mereka
  • Penduduk Luhak Limopuluah Koto berasal dari India Selatan juga (dan mungkin ada tambahan dari tempat lain), namun menganut agama Buddha Mahayana.
Di kemudian hari terlihat bahwa mayoritas nagari-nagari di Luhak Agam dan Luhak Limopuluah ini adalah pendukung Kelarasan Bodi Caniago, sedangkan Luhak Tanah Data adalah pendukung Lareh Koto Piliang (kecuali Solok dan Limokaum Duobaleh Koto). Pada masa Perang Paderi, Agam dan Limopuluah Koto dengan segera bergabung dengan Gerakan Paderi yang berpusat di Bonjol, sedangkan Tanah Data tampak menunjukkan resistensinya.

kelok 9 hulu air

Jembatan Kelok 9 merupakan jembatan yang menghubungkan Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan Pekanbaru, Riau, tepatnya di Km 143 hingga Km 148 dari Padang. Jembatan ini sebenarnya dibangun sejak tahun 2003 dan setelah 10 tahun berjalan akhirnya siap diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada september 2013.  Kenapa disebut Kelok 9 ? karena jalanan di daerah itu memiliki 9 belokan atau kelokan. Ruas jalan yang tampak zig-zag menuruni lereng bukit ini dibangun pada zaman Belanda, tahun 1908 sampai 1914.
kelok-9
Jembatan ini tepatnya terletak di desa Hulu AirKabupaten Limapuluh Kota.  Nah diantara ruas jalan kelok sembilan (9) ini dibangunlah Jembatan Kelok 9 di atas. Jembatan Kelok Sembilan terletak di kilometer 146 dan 148. Jembatan ini panjangnya 2.537 meter, terdiri atas 980 meter berupa jembatan yang terbagi dalam enam buah jembatan dan 1.557 meter berupa jalan raya biasa di lereng bukit.
Kelok 9 atau Kelok Sembilan adalah ruas jalan berkelok yang terletak sekitar 30 km sebelah timur dari Kota Payakumbuh menuju Provinsi Riau. , dan jalan ini merupakan bagian dari ruas jalan penghubung Lintas Tengah Sumatera dan Pantai Timur Sumatera. Jalan ini memiliki tikungan yang tajam dan lebar sekitar 5 meter, berbatasan dengan jurang, dan diapit oleh dua perbukitan di antara dua cagar alam:
Melewati kelok sembilan sepertinya pengendara akan dimanjakan dengan pemandangan yang sejuk, hijau dan eksotisme panorama perbukitan. Selain itu juga bisa melihat bagaimana ‘seni’ para sopir truk-truk besar dan bus serta mobil berpapasan ketika di kelokan. Menurut informasi untuk menikmati panorama Kelok Sembilan, tempat paling pas adalah di ruas jalan paling atas. Di belokan paling atas ini terdapat bahu jalan yang cukup luas, sehingga kendaraan bisa parkir dengan aman.